Cari Blog Ini

Minggu, 07 Februari 2010

MAU KAWIN? BACA DULU ARTIKEL INI


Bagaimana proses Perkawinan?
(Penulis: Sudiman, S.IP)

Para mengunjung Blog SPP SOLO RAYA yang berbahagia pertama-tama penulis mengucapkan selamat berkunjung di Blog SPP SOLO RAYA ini, semoga anda adalah pengunjung yang setia dan Blog SPP SOLO RAYA ini menjadi Blog Favorit anda.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyajikan artikel yang membahas tentang perkawinan. Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat diharapkan dan dinati-nantikan bahkan mungkin sangat diimpi-impikan bagi kaum jomblo baik jomblo yang bersetatus perjaka/perawan atau jomblo yang bersetatus duda/janda. Dalam artikel ini tidak akan membahas bagaimana mencari pasangan tetapi penulis akan membahas bagaimana menindaklanjuti setelah anda mendapatkan calon yang akan dinikahinya

Pencatatan Perkawinan
Dalam pencatatan perkawinan akan digunakan tata cara dan persyaratan sesuai dengan Peaturan Perundang-undangan menurut jenis peristiwa. Misalnya perkawinan di wilayah NKRI bagi penduduk yang beragama Islam dan non Islam, kedua perkawinan diluar wilayah NKRI.

1- Pencatatan perkawinan di wilayah NKRI bagi penduduk beragama non Islam.

Pencatatan perkawinan jenis ini akan diatur dalam Peraturan Presiden No.25 Th 2008 tentang persyaratan dan tata cara pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil pasal 67 ayat (1) tertulis sebagai berikut:

“ Pencatatan Perkawinan dilakukan di instansi pelaksana tempat terjadinya perkawinan”
Dengan persyaratan diatur dalam ayat (2) tertulis:
“ Pencatatan perkawina sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi syarat berupa:
a. Surat Keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta atau surat perkawinan penghatat kepercayaan yang di tandatangani oleh pemuka penghayat kepercayaan.
b. KTP suami dan Isteri.
c. Pas Photo suami dan isteri.
d. Kutipan Akte kelahiran suami isteri
e. Paspor bagi suami atau isteri orang asing.”
Dengan tata cara diatur dalam ayat (3) tertulis:
“ Pencatatan perkawinana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tata cara
a. Pasangan suami dan isteri mengisi formulir pencatatan perkawinan pada UPTD Instansi pelaksana dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2).
b. Pejabat pencataan sipil UPTD instansi pelaksana mencatat pada regester Akta perkawinan dan menerbitkan kutipan Akta perkawinan.
c. Kutipan Akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada huruf b diberikan kepada masing-masing suami dan isteri.
d. Suami atau isteri berkewajiban melampirkan hasil pencatatan perkawinan kepada instansi pelaksana atau UPTD instansi pelaksana tempat domisili.

Keterangan istilah:
1-Instansi Pelaksana adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabpaten/Kota.
2-UPTD Instansi Pelaksana adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota ditingkat satu Kecamatan atau atau lebih dari satu Kecamatan yang diutamakan untuk daerah terpencil.


2- Pencatatan perkawinan diwilayah NKRI bagi penduduk beragama Islam.

Pencatatan perkawinan bagi penduduk beragama Islam diwilayah NKRI diatur dalam UU RI No. 23 Th 2006 tentang Administrasi Kependudukan pasal 34 ayat (4).
“Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penduduk yang beragama Islam kepada KUA Kecamatan”
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) mempunyai kedudukan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia (UU No.22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954) sampai sekarang PPN adalah satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum agama Islam dalam wilayahnya. Untuk memenuhi ketentuan itu maka setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan PPN karena PPN mempunyai tugas dan kedudukan yang kuat menurut hukum, ia adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap KUA Kecamatan.

Berikutnya masyarakat dalam merencanakan perkawinan agar melakukan persiapan sebagai berikut :
1. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian apakah mereka saling cinta/setuju dan apakah kedua orang tua mereka menyetujui/merestuinya. Ini erat kaitannya dengan surat-surat persetujuan kedua calon mempelai dan surat izin orang tua bagi yang belum berusia 21 tahun
2. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Untuk mencegah terjadinya penolakan atau pembatalan perkawinan).
3. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang pembinaan rumah tangga hak dan kewajiban suami istri dsb.
4. Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkaan calon mempelai supaya memeriksakan kesehatannya dan kepada calon mempelai wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.

A. Pemberitahuan Kehendak Nikah
Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang maka orang yang hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada PPN yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya akad nikah sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum akad nikah
dilangsungkan. Pemberitahuan Kehendak Nikah berisi data tentang nama kedua calon mempelai, hari dan tanggal pelaksanaan akad nikah, data mahar/maskawin dan tempat pelaksanaan upacara akad nikah (di Balai Nikah/Kantor atau di rumah calon mempelai, masjid gedung dll). Pemberitahuan Kehendak Nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai, wali (orang tua) atau wakilnya dengan membawa surat-surat yang diperlukan :

I. Perkawinan Sesama WNI

1. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon Pengantin (catin) masing-masing 1 (satu) lembar.
2. Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/materai bernilai minimal Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui RT, RW dan Lurah setempat.
3. Surat keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu Model N1, N2, N4, baik calon Suami maupun calon Istri.
4. Pas photo caten ukuran 2x3 masing-masing 4 (empat) lembar, bagi anggota ABRI berpakaian dinas.
5. Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Akta Cerai dari Pengadilan Agama, jika Duda/Janda mati harus ada surat kematian dan surat Model N6 dari Lurah setempat.
6. Harus ada izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi :
a-Catin Laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun;
b-Catin Perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun;
c-Laki-laki yang mau berpoligami.
7. Ijin Orang Tua (Model N5) bagi catin yang umurnya kurang dari 21 tahun baik catin laki-laki/perempuan.
8. Bagi catin dari luar kecamatan, harus ada surat Rekomendasi Nikah dari KUA setempat.
9. Bagi anggota TNI/POLRI dan Sipil TNI/POLRI harus ada Izin Kawin dari Pejabat Atasan/Komandan.
10. Bagi catin yang akan melangsungkan pernikahan ke luar wilayah Kecamatan harus ada Surat Rekomendasi Nikah dari KUA setempat.
11. Kedua catin mendaftarkan diri ke KUA sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja dari waktu melangsungkan Pernikahan. Apabila kurang dari 10 (sepuluh) hari kerja, harus melampirkan surat Dispensasi Nikah dari Camat.
12. Bagi WNI keturunan, selain syarat-syarat tersebut dalam poin 1 s/d 10 harus melampirkan foto copy Akte kelahiran dan status kewarganegaraannya (K1).
13. Surat Keterangan tidak mampu dari Lurah/Kepala Desa bagi mereka yang tidak mampu.

II. Perkawinan Campuran ( WNI & WNA)

1. Akte Kelahiran/Kenal Lahir
2. Surat tanda melapor diri (STMD) dari kepolisian
3. Surat Keterangan Model K II dari Dinas Kependudukan (bagi yang menetap lebih dari satu tahun)
4. Tanda lunas pajak bangsa asing (bagi yang menetap lebih dari satu tahun)
5. Keterangan izin masuk sementara (KIMS) dari Kantor Imigrasi
6. Foto Copy PasPort
7. Surat Keterangan dari Kedutaan/perwakilan Diplomatik yang bersangkutan.
8. Semua surat-surat yang berbahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penterjemah resmi.

B. Pemeriksaan Nikah
PPN yang menerima pemberitahuan kehendak nikah meneliti dan memeriksa berkas –berkas yang ada apakah sudah memenuhi syarat atau belum, apabila masih ada kekurangan syarat maka diberitahukan adanya kekurangan tersebut. Setelah itu dilakukan pemeriksaan terhadap calon suami, calon istri dan wali nikahnya yang dituangkan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB).

Jika calon suami/istri atau wali nikah bertempat tinggal di luar wilayah KUA Kecamatan dan tidak dapat hadir untuk diperiksa, maka pemeriksaannya dilakukan oleh PPN yang mewilayahi tempat tinggalnya. Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku maka PPN berhak menolak pelaksanaan pernikahan dengan cara memberikan surat penolakan beserta alasannya. Setelah pemeriksaan dinyatakan memenuhi syarat maka calon suami, calon istri dan wali nikahnya menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah. Setelah itu yang bersangkutan membayar biaya administrasi pencatatan nikah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

C. Pengumuman Kehendak Nikah
Setelah persyaratan dipenuhi PPN mengumumkan kehendak nikah (model NC) pada papan pengumuman di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan dilangsungkan dan KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing calon mempelai.

PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lampau 10 hari kerja sejak pengumuman, kecuali seperti yang diatur dalam psl 3 ayat 3 PP No. 9 Tahun 1975 yaitu apabila terdapat alasan yang sangat penting misalnya salah seorang calon mempelai akan segera bertugas keluar negeri, maka dimungkinkan yang bersangkutan memohon
dispensasi kepada Camat selanjutnya Camat atas nama Walikota/Bupati memberikan dispensasi.

D. Pelaksanaan Akad Nikah
1. Pelaksanaan Upacara Akad Nikah :
- di Balai Nikah/Kantor
- di Luar Balai Nikah : rumah calon mempelai, masjid atau gedung dll.

2. Pemeriksaan Ulang :
Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah PPN /Penghulu terlebih dahulu memeriksa/mengadakan pengecekan ulang persyaratan nikah dan administrasinya kepada kedua calon pengantin dan walinya untuk melengkapi kolom yang belum terisi pada waktu pemeriksaan awal di kantor atau apabila ada perubahan data dari hasil pemeriksaan awal. Setelah itu PPN/ Penghulu menetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
3. Pemberian izin.
Sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan dianjurkan bagi ayah untuk meminta izin kepada anaknya yang masih gadis atau anak terlebih dahulu minta/memberikan izin kepada ayah atau wali, dan keharusan bagi ayah meminta izin kepada anaknya untuk menikahkan bila anak berstatus janda.
4. Sebelum pelaksanaan ijab qobul sebagaimana lazimnya upacara akad nikah bisa didahului dengan pembacaan khutbah nikah, pembacaan istighfar dan dua kalimat syahadat
5. Akad Nikah /Ijab Qobul
6. Pelaksanaan ijab qobul dilaksanakan sendiri oleh wali nikahnya terhadap calon mempelai pria, namun apabila karena sesuatu hal wali nikah/calon mempelai pria dapat mewakilkan kepada orang lain yang ditunjuk olehnya.
7. Penandatanganan Akta Nikah oleh kedua mempelai, wali nikah, dua orang saksi dan PPN yang menghadiri akad nikah.
8. Pembacaan Ta’lik Talak
9. Penandatanganan ikrar Ta’lik Talak
10.Penyerahan maskawin/mahar
11.Penyerahan Buku Nikah/Kutipan Akta Nikah.
12.Nasihat perkawinan
13.Do’a penutup.

Pencatatan pernikahan di KUA selanjutnya harus dilaporkan keinstansi pelaksana tempat domisili diatur dalam Peraturan Presiden RI No.25 Th 2008 tentang persyaratan dan tata cara pendaftaran penduduk dan catatan sipil pasal 68 ayat (1) dan (2):
(1) Data nasil pencatatan KUA Kec atas peristiwa perkawinan, disampaikan kepada Instansi Pelaksana untuk direkam kedalam database kependudukan.
(2) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dimaksudkan untuk penerbitan kutipan Akta perkawinan.



3. Pencatatan perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan.

Pencatatan perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan seorang yang masih dalam ikatan perkawinan, diatur dalam UU RI No.1 Th 1974 tentang Perkawinan pasal 3 ayat (2).
“ Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”
pasal 4 ayat (1) menyatakan:
“ Dalam hal seoang suami akan beristri lebih seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permahonan kepada pengadilan ditempat tinggalnya”
ayat (2) pasal yang sama menyatakan:
“ Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat di sembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.”
Dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) tertulis:
“ (1) Untuk dapat menggunakan permohonan pada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat berikut
a. Adanya persetujuan dari istri/istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak ada kabar dari istrinya sekrang-kurannya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian. dari hakim pengadilan”
Dalam persyaratan dan tata cara diatur dalam Peraturan Presiden RI Th.2008 pasal 69 ayat (1) dan (2) yang teertulis:
“ Pencatatan perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan dilakukan di instansi Pelakana atau UPTD Instansi Pelaksana” dan
“ Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakuka dengan cara menunjukkan penetapan pengadilan”


4. Pencatatan Nikah WNI di luar wilayah NKRI.

Pencatatan nikah WNI diluar wilayah NKRI, terjadi bila seorang atau sepasang calo suami isteri yang sedang berada diluar wilayah hukum NKRI maka akan diatur dalam Peraturan Presiden RI No.25 Th 2008 tentang Persyaratan dan tata cara pendaftaran penduduk dan catatan sipil pasal 70 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dalam kutipannya sebagai berikut:
(1) Pencatatan perkawinan bagi warga Negara Indonesia diluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan pada Insyansi yang berwenang di Negara setempat.
(2) Perkawinan Warga Negara Indonesia yang telah di catatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi syarat berupa foto copy,
a. Bukti pencatatan perkawinan/Akta perkawinan dari Negara setempat,
b. Paspor Republik Indonesia dan/atau
c. KTP suami dan isteri bagi penduduk Indonesia.
(3) Pelaporan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tata cara:
a. Warga Negara Indonesia mengisi formulir pelaporan perkawinan dengan menyerahkan persyaratan kepada pejabat konsuler.
b. Pejabat konsuler mencatat pelaporan perkawinan Warga Negara Indonesia dalam daftar perkawinan Negara Indonesia dan memberika surat bukti pencatatan perkawinan dari Negara setempat.
Jikalau Negara setempat tidak melakukan pencatatan nikah bagi orang asing, diatur dalam pasal berkutnya pada pasal 71 ayat (1), (2) dan (3) dalam kutipannya sebagai berikut:
(1) Dalam hal Negara setempat tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi orang asing, pencataan dilakukan oleh perwakilan Republik Indonesia
(2) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi syarat berupa:
a. Surat keterangan tentang terjadinya perkawinan dinegara setempat.
b. Pas photo suami dan istri.
c. Foto kopi paspor Republik Indonesia, dan
d. Foto kopi KTP suami dan isteri bagi penduduk Indonesia.
(3) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tata cara:
a. Warga Negara Indonesia mengisi formulir pencatatan perkawinan dengan menyerahkan dan/atau menunjukkan persyaratan sebagaimana dimasud pada ayat (2) kepada pejabat konsuler.
b. Pejabat konsuler mencatat dalam Regester Akta perkawinan dan menerbitkan kutipan Akta perkawinan.
Kewajiban Perwakilan RI menyampaikan data perkawinan tersebut kepada instansi pelaksana melalui Departemen yang bidang tugasnya meliputi urusan pemerintahan dalam negeri, dan instansi pelaksana yang menerima pelaporan tersebut mencatat dan merekam kedalam data base, warga Negara yang dimaksud dalam pasal 70 dan pasal 71 setelah kembali di Indonesia melapor kepada instansi pelaksana ditempat domisili dengan membawa bukti pelaporan/pencatatan perkawinan diluar negeri dan kutipan Akta perkawinan.


5. Pencatatan pembatalan perkawinan.

Pembatalan perkawinan bisa dilakukan bila sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam UU RI No.1 Th 1974 tentang perkawinan pasal 22, 23, 24, 25, 26, 27 dan 28 mengatur tentang pembatalan perkawinan pada pasal 22 tertulis:
“ Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan”
Pasal 23 disebutkan,
“ Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan keatas dari suami isteri.
b. Suami atau isteri
c. Pejabat yang di tunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini dari setiap orang mempunyai kepentingan hokum secara langsung terhadap perkawinan tersebut tetapi harinya setelah perkawinan itu putus.”
Pasal 24 disebutkan,
“ Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini”
Pasal 25 disebutkan.
“Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hokum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri”
pasal 26 disebutkan,
“(1) Perkawinan yang di langsungkan muka pegawai pencatatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang di langsungkan tanpa di hadiri 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkanalas an dalam ayat (1) pasal ini gagal apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan Akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatatat perkawinan yang tidak berwenang dalam perkawinan diperbaharui supaya sah”
Pasal 27 disebutkan
“(!) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pekawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hokum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada saat waktu berlangsungnya pekawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka it menyadari diri keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih dalam tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur”
Pasal 28 disebutkan;
“ (1) Pembatalan suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai ketetapan hokum yang tetap dan berlaku sejak yang tetap an berlaku sejak saat dilangsungkan nya perkawinan
(2) Keputusan tidak berlaksurut terhadap;
a. Anak-anak yang di lahirkan dari perkawinan itu.
b. Suami atau isteri yang bertindak sengan etikat baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikat baik sebelum keputusan tetntang pembatalan mempunyai kekuatan hokum tetap”
Dalam tata cara dan persyaratan pembatalan perkawinan dalam Peraturan Presiden No.25 Th 2008 tentang persyaratan dan tata cara pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil pasal 74;
“ (1) Pencatatan pembatalan perkawinan dilakukan di Instansi Pelaksana atau di UPTD Instansi Pelaksana tempat terjadinya pembatalan perkawinan.
(2) Pencatatan pembatalan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan salinan putusan pengadilan mengenai pembatalan perkawinan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap dan kutipam Akta perkawinan.
(3) Pencatatan pembatalan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tata cara;
a. Pasangan suami dan isteri yang perkawinannya dibatalkan, mengisi formulir pencatatan pembatalan perkawinan pada instansi pelaksana atau UPTD instansi pelaksana dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
b. Pejabat pencatatan sipil pada instansi pelaksana mencabut kutipan Akta perkawinan dan memberikan catatan pinggir pada regester Akta perkawinan serta menerbitkan surat keterangan pembatalan peristiwa perkawinan.
c. Instansi pelaksana atau UPTD instansi pelaksana sebagaimana dimaksud pada huruf b memberitahukan kepada instansi atau UPTD instansi pelaksana tempat pencatatan peristiwa perkawinan
(4) Panitera pengadilan mengirimkan salinan putusan pengadilan mengenai pembatalan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencatat dan merekam dalam database kependudukan.
(5) Instansi pelaksana atau UPTD Instansi pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencatat dan merekam dalam database kependudukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar